Kamis, 05 Januari 2017

Teori Belajar Kognitif

TEORI BELAJAR KOGNITIF


Teori belajar kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa diamati.  Aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internar berfikir, yakni proses pengolahan informasi. Proses informasi bermula dari stimulus berupa cahaya, panas, tekanan udara maupun suara yang ditangkap oleh alat indra kemudian disimpan secara cepat didalam otak. (Nini Subini, 2012, hal. 48)
Tokoh-tokoh teori belajar kognitif diantaranya:
1.      Jean Piaget
Teori perkembangan kognisi Piaget menyatakan bahwa kecerdasan atau kemampuan kognisi seorang anak mengalami kemajuan melalui empat tahap yang jelas. Masing-masing tahap dicirikan oleh kemunculan kemampuan-kemampuan baru dan cara mengolah informasi. Karya Piaget menjadi dasar penting untuk memahami perkembangan anak.
Piaget menyatakan bahwa struktur kognitif sebagai skemata, yaitu kumpulan dari skema-skema. Skema yaitu pola mental yang menuntun perilaku. Skema Piaget percaya bahwa setiap anak dilahirkan dengan kecenderungan bawaan untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka dan memahaminya. Ia merujuk pada cara-cara dasar mengorganisasikan dan mengolah informasi sebagai struktur kognisi.
Adaptasi adalah proses penyesuaian skema sebagai tanggapan atas lingkungan dengan cara asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses memahami suatu objek atau peristiwa baru dari segi skema yang ada. Misalnya jika bayi yang masih muda diberi objek kecil yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya tetapi menyerupai objek yang sudah tidak asing lagi, mereka kemungkinan akan memegangnya, menggigitnya, dan membantingnya. Dengan kata lain, mereka akan menggunakan skema yang adaa untuk belajar tentang benda-benda yang sudah dikenal ini.
Akomodasi adalah mengubah skema yang ada agar sesuai dengan situasi baru. Kadang-kadang, ketika cara-cara lama digunakan untuk menghadapi dunia ini sama sekali tidak berhasil, seorang anak mungkin akan mengubah skema yang ada dari sudut informasi baru atau suatu pengalaman baru. Misalnya, jika bayi diberi telur yang mempunyai skema dengan membanting objek-objek kecil, apa yang akan terjadi dengan telur tersebut sudah jelas. Namun, sesuatu yang tidak begitu jelas ialah apa yang akan terjadi pada skema bantingan bayi tersebut. Karena konsekuensi yang tidak terduga dengan membanting telur, bayi tersebut mungkin akan mengubah skema tersebut. Pada masa mendatang bayi tersebut mungkin akan membanting beberapa objek dengan keras dan objek lainnya dengan lembut.
Bayi yang membanting telur harus berhadapan dengan situasi yang tidak dapat sepenuhnya ditangani dengan skema yang ada. Dalam teori Piaget hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara apa yang dipahami dan apa yang ditemukan atau disekuilebrum. Pada dasarnya orang akan mencoba mengurangi ketidakseimbangan seperti itu dengan terpusat pada stimulus yang menyebabkan disekuilebrum dan mengembangkan skema baru atau menyesuaikan skema lama hingga ekuilebrum pulih kembali. Proses pemulihan kesimbangan ini disebut ekuilibrasi. (Slavin, 2008, hal. 43-44)
Tahap-tahap Perkembangan menurut Piaget:
1)      Tahap sensorikmotorik (pada saat lahir hingga usia 2 tahun) tahap paling awal disebut senorimotor karena, selama tahap ini, bayi dan anak kecil menjajaki dunia mereka dengan menggunakan indera mereka dan kemampuan motor mereka.
2)      Tahap Praoperasioanal (usia 2-7 tahun) apabila bayi dapat mempelajari dan memahami dunia ini hanya dengan memanipulasi objek secara fisik, anak-anak prasekolah mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk memikirkan segala sesuatu dan dapat menggunakan simbol untuk melambangkan objek dalam pikiran.
3)      Tahap Operasional konkret (usia 7-11 tahun) walaupun perbedaan antara kemampuan mental anak-anak prasekolah yang pra-operasional dan siswa sekolah dasar operasional konkret tampak sangat besar, anak-anak operasional konkret masih belum berpikir seperti orang dewasa.
4)      Tahap operasional formal (usia 11-hingga dewasa) kadang-kadang disekitar awal pubertas, pemikiran anak-anak mulai berkembang menjadi bentuk yang merupakan ciri khas orang dewasa. Orang praremaja mulai sanggup berpikir abstrak dan melihat kemungkinan-kemungkinan melampaui disini dan sekaranng. Kemampuan-kemampuan ini terus berkembang hingga masa dewasa. Bersama tahap operasional formal, muncul kemampuan menghadapi situasi potensial atau hipotesis; bentuk kini terpisah dari isi. (Slavin, 2008, hal. 45-53)

2.      Teori Gestalt
Teori menurut Gestalt, belajar itu merupakan fenomena kognitif. Organisme akan mengadakan pemecahan setelah menghadapi suatu problem. Organisme akan berpikir tentang semua bahan yang diperlukan untuk memecahkan problem, dan akan mengambil suatu cara, kemudian cara yang lain, sampai problem itu terpecahkan. Organisme itu menemukan insight untuk memecahkan problem. Problem itu ada dua, yaitu yang tidak dapat dipecahkan dan yang dapat dipecahkan. (Rumini, 2000, hal. 87)
Max Wertheimer (1940-1943) seorang psikolog Jerman adalah penemu psikologi Gestalt. Gerakan psikologi Gestalt itu mula-mula dimuat dalam artikel Wertheimer pada tahun 1912. Ia sangat dekat Wolfgang Kohler (1887-1967) dan Kurt Koffka (1886-1941). Kohler dan Koffka melakukan percobaan-percobaan yang pertama untuk penelitian Wertheimer. Ide-ide ketiga orang itu sejajar dan memberi sumbangan yang sangat berarti untuk psikologi Gestalt.
Penemuan Gestalt itu dimulai sebagai akibat insight Wertheimer selagi naik kereta api sambil membaca waktu liburan. Ia melihat sinar berkedip-kedip (hidup dan mati) dengan jarak tertentu. Sinar itu memberi kesan sebagai satu sinar yang bergerak datang pergi tidak terputus-putus.
Kemudian ia meninggalkan kereta api dan membeli permainan digunakan untuk menampilkan rangsangan penglihatan dalam jarak waktu yang bervariasi. Ia melakukan eksperimen sederhana dalamkamar hotel. Ia mengembangkan kesan yang diperoleh dalam kereta api, bahwa jika mata melihat perangsang dengan cara tertentu akan memberikan ilusi gerakan. Wertheimer menyebutkan gejala ini dengan istilah Phi Phenomenon. Phi Phenomenon ini sangat berbeda dengan elemen-elemen yang membentuknya. Sensasi yang terbentuk tidak dapat dijelaskan dengan menganalisis masing-masing dari dua sinar yang hidup mati tersebut. Impresi pengalaman itu timbul dari kombinasi elemen-elemen itu.
Dengan alasan ini, maka sejumlah psikolog Gestalt percaya, meskipun pengalaman-pengalaman psikologis timbul dari penginderaan elemen-elemen itu sendiri. Dengan kata lain dikatakan bahwa: “Pengalaman fenomenologis merupakan akibat dari penginderaan pengalaman, tetapi tidak dapat dipahami dengan menganalisis pengalaman fenomena dalam elemen-elemennya. Pengalaman fenomena berbeda dengan jumlah bagian-bagian yang membentuknya. Gestalt merupakan keseluruhan yang penuh arti. Kita tidak menghayati stimulus-stimulus itu secara tertutup, tetapi stimulus-stimulus itu secara bersama-sama serempak ke dalam konfigurasi yang penu arti. Keseluruhan itu lebih dari jumlah bagian-bagiannya. (Rumini, 2000, hal. 81-82)

3.      David P. Ausubel
Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 100), konsep dasar belajar Ausubel lebih sering dibandingkan dengan konsep Brunner. Ausubel dan Brunner memiliki kesamaan dari sisi hierarkis sebuah pengetahuan. Perbedaannya adalah Brunner menekankan pada proses penemuan, sedangkan Ausubel menekankan pada proses pembelajarannya yang mengarah pada pembelajaran verbal dalam berbicara, membaca, dan menulis. Ausubel dengan jelas mengatakan ketidaksepahamannya terhadap metode hafalan dalam belajar. Menurutnya, proses pembelajaran berdasarkan hafalan tidak banyak membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan (Sugiyono dan Hariyanto, 2011: 100). Oleh sebab itu, materi dan proses pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa oleh guru agar memiliki manfaat atau bermakna bagi siswa untuk memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya. (Irham P, 2013, hal. 178-180)
Beberapa konsep dasar pandangan Ausubel tentang proses pembelajaran antara lain teori subsumsi, advance organizer, dan juga skema. Penjelasannya menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 101-102) sebagai berikut:
a.       Subsumption Theory
Subsumption artinya menggolongkan secara hierarkis. Artinya, melakukan subsumsi merupakan proses menjalinkan atau mengaitkan materi pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa yang telah terisi dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya. Oleh karena itu, hasil subsumsi akan menghasilkan sebuah konsep baru yang disebut pengetahuan baru. Hasilnya dapat berupa pengetahuan baru sebagai hasil perluasan makna atas pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya, yang mana pengetahuan baru tersebut juga tetep memuat konsep atau pengetahuan lama sebagai dasarnya.

b.      Advance Organizer
Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 101), advance organize merupakan proses menata mental siswa sebelum proses pembelajaran dilaksanakan yang bertujuan untuk membantu siswa mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan terdahulu yang dimilikinya. Hal ini dilakukan agar terjadi keterkaitan yang mengarah pada pembelajaran bermakna bagi siswa. Dengan kata lain, untuk menyiapkan dan menata struktur kognitif siswa sebelum memulai proses belajar. Misalnya, disampaikan pengantar ringkas tentang materi yang akan dipelajari, konsep-konsep dasar materi yang akan dipelajari, serta hubungannya dengan materi-materi sebelumnya.

c.       Skema
Menurut Asri Budiningsih (2005: 44-45), skema atau skemata berfungsi untuk mengintegrasikan atau menyatukan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah sebagai sebuah pengetahuan baru. Masih menurut Asri Budiningsih, skemata juga memiliki fungus ganda, diantaranya:
1)      Menggambarkan atau merepresentasikan organisasi pengetahuan individu, dan
2)      Sebagai kerangka atau tempat mengaitkan atau mencantolkan pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang dimiliki siswa.
Dengan kata lain, skemata merupakan penentu utama terhadap apa dan bagaimana proses pembelajaran akan diberikan pada siswa selanjutnya. Hal ini disebabkan menurut Anderson dan Tennyson dalam Asri Budiningsih (2005: 45), bagaimanapun tujuan siswa belajar untuk memperoleh pengetahuan yang selanjutnya akan digunakan oleh siswa tersebut dalam kehidupan kesehariannya dan sekaligus berfungsi sebagai dasar bagi terbentuknya pengetahuan lain. Bentuk aplikasi teori belajar Ausubel dalam proses pembelajaran adalah dilakukannya langkah-langkah berikut:
1)        Guru menentukan tujuan pembelajaran yang akan dilakukan,
2)        Guru melakukan identifikasi terhadap karakter siswa dalam belajar untuk menyesuaikan dengan metode pembelajaran,
3)        Guru memilih dan menyesuaikan materi dengan karakteristik siswa dalam hal metode penyampaian materi bukan tujuannya yang disesuaikan,
4)        Guru menentukan dan memberikan garis besar materi yang akan disampaikan dalam bentuk penyampaian advance organizer.
5)        Guru menyampaikan materi dalam bentuk senyata dan sekonkret mungkin serta melakukan penilaian terhadap proses dan hasil belajar belajar siswa. (Irham P, 2013, hal. 178-180)

4.      Brunner
Menurut Brunner dalam Sugiharono dkk. (2007:111), belajar merupakan proses yang bersifat aktif. Maksudnya, cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar konsep dan prinsip-prinsip tertentu adalah dengan mengkontruksi sendiri konsep dan prinsip yang dipelajari, yaitu dengan cara siswa berinteraksi secara langsung dengan lingkungannya untuk melakukan eksplorasi, manipukasi, membuat pertanyaan, dan melakukan eksperimen terhadap obyek yang dipelajari. (Irham P, 2013, hal. 173)
Pendapat yang terkenal dikemukakan oleh J.S. Brunner adalah bahwa setiap mata pelajaran dapat diajarkan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual kepada setiap anak di setiap tingkat perkembangannya. (Nini Subini, 2012, hal. 159)
Menurut Brunner, dalam proses belajar peserta didik menempuh tiga tahap,yaitu:
1)      Tahap informasi ( tahap penerima materi)
Pada tahap ini, peserta didik yang sedang belajar memperoleh sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari baik dari gurunya maupun membaca dari sumber atau media yang ada.
2)      Tahap transformasi ( tahap pengubahan materi)
Pada tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis, diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual.
3)      Tahap evaluasi
Dalam tahap ini, peserta didik menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah ditransformasikan dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang dihadapi. (Nini Subini, 2012, hal. 159)

Teori Brunner menggunakan metode penemuan (discovery learning). Discovery learning adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivitas. Brunner lebih menekankan pada proses belajar daripada hasil belajar. (Nini Subini, 2012, hal. 160)
Penerapan teori belajar Brunner dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
a) Menyajikan contoh yang riil dan bukan contoh dari konsep yang diajarkan guru.
b) Membantu peserta didik untuk melihat adanya hubungan antara konsep-konsep
c)  Memberikan satu pertanyaan dan membiarkan peserta didik mencari jawabannya sendiri.
d) Mengajak dan memberi semangat peserta didik untuk mengeluarkan pendapat berdasarkan instuisinya.


SUMBER

Irham P, d. (2013). Psikologi Pendidikan: Teori dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-ruzzmedia.
Nini Subini, d. (2012). Psikologi Pembelajaran. Yogyakarta: Mentari Pustaka.
Rumini, S. (2000). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Unit Percetakan dan Penerbitan (UPP) Universitas Negeri Yogyakarta.
Slavin, R. E. (2008). Psikologi Pendidikan Teori dan Praktik. Jakarta: PT Indeks.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar