TEORI BELAJAR KOGNITIF
Teori
belajar kognitif memandang belajar sebagai proses pemfungsian unsur-unsur
kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan situasi dimana tingkah laku
itu terjadi. Teori belajar kognitiv lebih mementingkan proses belajar daripada
hasil belajar itu sendiri. Belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara
stimulus dan respon, lebih dari itu belajar melibatkan proses berpikir yang
sangat kompleks. Belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan
persepsi dan pemahaman tidak selalu berbentuk perubahan tingkah laku yang bisa
diamati. Aktivitas belajar pada diri
manusia ditekankan pada proses internar berfikir, yakni proses pengolahan
informasi. Proses informasi bermula dari stimulus berupa cahaya, panas, tekanan
udara maupun suara yang ditangkap oleh alat indra kemudian disimpan secara
cepat didalam otak. (Nini Subini, 2012, hal.
48)
Tokoh-tokoh teori belajar kognitif diantaranya:
1.
Jean Piaget
Teori perkembangan kognisi Piaget menyatakan bahwa kecerdasan atau
kemampuan kognisi seorang anak mengalami kemajuan melalui empat tahap yang
jelas. Masing-masing tahap dicirikan oleh kemunculan kemampuan-kemampuan baru
dan cara mengolah informasi. Karya Piaget menjadi dasar penting untuk memahami
perkembangan anak.
Piaget menyatakan bahwa struktur kognitif sebagai skemata, yaitu
kumpulan dari skema-skema. Skema yaitu pola mental yang menuntun perilaku.
Skema Piaget percaya bahwa setiap anak dilahirkan dengan kecenderungan bawaan
untuk berinteraksi dengan lingkungan mereka dan memahaminya. Ia merujuk pada
cara-cara dasar mengorganisasikan dan mengolah informasi sebagai struktur
kognisi.
Adaptasi adalah proses penyesuaian skema sebagai tanggapan atas
lingkungan dengan cara asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses
memahami suatu objek atau peristiwa baru dari segi skema yang ada. Misalnya jika
bayi yang masih muda diberi objek kecil yang tidak pernah mereka lihat
sebelumnya tetapi menyerupai objek yang sudah tidak asing lagi, mereka
kemungkinan akan memegangnya, menggigitnya, dan membantingnya. Dengan kata
lain, mereka akan menggunakan skema yang adaa untuk belajar tentang benda-benda
yang sudah dikenal ini.
Akomodasi adalah mengubah skema yang ada agar sesuai dengan situasi
baru. Kadang-kadang, ketika cara-cara lama digunakan untuk menghadapi dunia ini
sama sekali tidak berhasil, seorang anak mungkin akan mengubah skema yang ada
dari sudut informasi baru atau suatu pengalaman baru. Misalnya, jika bayi
diberi telur yang mempunyai skema dengan membanting objek-objek kecil, apa yang
akan terjadi dengan telur tersebut sudah jelas. Namun, sesuatu yang tidak
begitu jelas ialah apa yang akan terjadi pada skema bantingan bayi tersebut.
Karena konsekuensi yang tidak terduga dengan membanting telur, bayi tersebut
mungkin akan mengubah skema tersebut. Pada masa mendatang bayi tersebut mungkin
akan membanting beberapa objek dengan keras dan objek lainnya dengan lembut.
Bayi
yang membanting telur harus berhadapan dengan situasi yang tidak dapat
sepenuhnya ditangani dengan skema yang ada. Dalam teori Piaget hal ini
menyebabkan ketidakseimbangan antara apa yang dipahami dan apa yang ditemukan
atau disekuilebrum. Pada dasarnya orang akan mencoba mengurangi ketidakseimbangan
seperti itu dengan terpusat pada stimulus yang menyebabkan disekuilebrum dan
mengembangkan skema baru atau menyesuaikan skema lama hingga ekuilebrum pulih
kembali. Proses pemulihan kesimbangan ini disebut ekuilibrasi. (Slavin,
2008, hal. 43-44)
Tahap-tahap Perkembangan menurut Piaget:
1)
Tahap
sensorikmotorik (pada saat lahir hingga usia 2 tahun) tahap paling awal disebut
senorimotor karena, selama tahap ini, bayi dan anak kecil menjajaki dunia
mereka dengan menggunakan indera mereka dan kemampuan motor mereka.
2)
Tahap
Praoperasioanal (usia 2-7 tahun) apabila bayi dapat mempelajari dan memahami
dunia ini hanya dengan memanipulasi objek secara fisik, anak-anak prasekolah
mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk memikirkan segala sesuatu dan dapat
menggunakan simbol untuk melambangkan objek dalam pikiran.
3)
Tahap
Operasional konkret (usia 7-11 tahun) walaupun perbedaan antara kemampuan
mental anak-anak prasekolah yang pra-operasional dan siswa sekolah dasar
operasional konkret tampak sangat besar, anak-anak operasional konkret masih
belum berpikir seperti orang dewasa.
4)
Tahap
operasional formal (usia 11-hingga dewasa) kadang-kadang disekitar awal
pubertas, pemikiran anak-anak mulai berkembang menjadi bentuk yang merupakan
ciri khas orang dewasa. Orang praremaja mulai sanggup berpikir abstrak dan
melihat kemungkinan-kemungkinan melampaui disini dan sekaranng.
Kemampuan-kemampuan ini terus berkembang hingga masa dewasa. Bersama tahap
operasional formal, muncul kemampuan menghadapi situasi potensial atau
hipotesis; bentuk kini terpisah dari isi. (Slavin, 2008, hal. 45-53)
2.
Teori Gestalt
Teori menurut Gestalt, belajar itu merupakan fenomena kognitif.
Organisme akan mengadakan pemecahan setelah menghadapi suatu problem. Organisme
akan berpikir tentang semua bahan yang diperlukan untuk memecahkan problem, dan
akan mengambil suatu cara, kemudian cara yang lain, sampai problem itu
terpecahkan. Organisme itu menemukan insight untuk memecahkan problem. Problem
itu ada dua, yaitu yang tidak dapat dipecahkan dan yang dapat dipecahkan. (Rumini,
2000, hal. 87)
Max Wertheimer (1940-1943) seorang psikolog Jerman adalah penemu
psikologi Gestalt. Gerakan psikologi Gestalt itu mula-mula dimuat dalam artikel
Wertheimer pada tahun 1912. Ia sangat dekat Wolfgang Kohler (1887-1967) dan
Kurt Koffka (1886-1941). Kohler dan Koffka melakukan percobaan-percobaan yang
pertama untuk penelitian Wertheimer. Ide-ide ketiga orang itu sejajar dan
memberi sumbangan yang sangat berarti untuk psikologi Gestalt.
Penemuan Gestalt itu dimulai sebagai akibat insight Wertheimer
selagi naik kereta api sambil membaca waktu liburan. Ia melihat sinar
berkedip-kedip (hidup dan mati) dengan jarak tertentu. Sinar itu memberi kesan
sebagai satu sinar yang bergerak datang pergi tidak terputus-putus.
Kemudian ia meninggalkan kereta api dan membeli permainan digunakan
untuk menampilkan rangsangan penglihatan dalam jarak waktu yang bervariasi. Ia
melakukan eksperimen sederhana dalamkamar hotel. Ia mengembangkan kesan yang
diperoleh dalam kereta api, bahwa jika mata melihat perangsang dengan cara
tertentu akan memberikan ilusi gerakan. Wertheimer menyebutkan gejala ini dengan
istilah Phi Phenomenon. Phi Phenomenon ini sangat berbeda dengan elemen-elemen
yang membentuknya. Sensasi yang terbentuk tidak dapat dijelaskan dengan
menganalisis masing-masing dari dua sinar yang hidup mati tersebut. Impresi
pengalaman itu timbul dari kombinasi elemen-elemen itu.
Dengan alasan ini, maka sejumlah psikolog Gestalt percaya, meskipun
pengalaman-pengalaman psikologis timbul dari penginderaan elemen-elemen itu
sendiri. Dengan kata lain dikatakan bahwa: “Pengalaman fenomenologis merupakan
akibat dari penginderaan pengalaman, tetapi tidak dapat dipahami dengan
menganalisis pengalaman fenomena dalam elemen-elemennya. Pengalaman fenomena
berbeda dengan jumlah bagian-bagian yang membentuknya. Gestalt merupakan
keseluruhan yang penuh arti. Kita tidak menghayati stimulus-stimulus itu secara
tertutup, tetapi stimulus-stimulus itu secara bersama-sama serempak ke dalam
konfigurasi yang penu arti. Keseluruhan itu lebih dari jumlah bagian-bagiannya.
(Rumini,
2000, hal. 81-82)
3.
David P.
Ausubel
Menurut Sugiyono dan Hariyanto
(2011: 100), konsep dasar belajar Ausubel lebih sering dibandingkan dengan
konsep Brunner. Ausubel dan Brunner memiliki kesamaan dari sisi hierarkis
sebuah pengetahuan. Perbedaannya adalah Brunner menekankan pada proses
penemuan, sedangkan Ausubel menekankan pada proses pembelajarannya yang
mengarah pada pembelajaran verbal dalam berbicara, membaca, dan menulis.
Ausubel dengan jelas mengatakan ketidaksepahamannya terhadap metode hafalan
dalam belajar. Menurutnya, proses pembelajaran berdasarkan hafalan tidak banyak
membantu siswa dalam memperoleh pengetahuan (Sugiyono dan Hariyanto, 2011:
100). Oleh sebab itu, materi dan proses pembelajaran harus dirancang sedemikian
rupa oleh guru agar memiliki manfaat atau bermakna bagi siswa untuk memecahkan
berbagai masalah dalam kehidupannya. (Irham P,
2013, hal. 178-180)
Beberapa konsep dasar pandangan
Ausubel tentang proses pembelajaran antara lain teori subsumsi, advance organizer, dan juga skema.
Penjelasannya menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 101-102) sebagai berikut:
a.
Subsumption
Theory
Subsumption
artinya menggolongkan secara hierarkis. Artinya, melakukan subsumsi merupakan
proses menjalinkan atau mengaitkan materi pengetahuan baru dalam struktur
kognitif siswa yang telah terisi dengan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya.
Oleh karena itu, hasil subsumsi akan menghasilkan sebuah konsep baru yang
disebut pengetahuan baru. Hasilnya dapat berupa pengetahuan baru sebagai hasil
perluasan makna atas pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya, yang mana
pengetahuan baru tersebut juga tetep memuat konsep atau pengetahuan lama
sebagai dasarnya.
b.
Advance
Organizer
Menurut Sugiyono dan Hariyanto (2011: 101), advance organize merupakan proses menata mental siswa sebelum
proses pembelajaran dilaksanakan yang bertujuan untuk membantu siswa
mengintegrasikan pengetahuan baru dengan pengetahuan terdahulu yang
dimilikinya. Hal ini dilakukan agar terjadi keterkaitan yang mengarah pada pembelajaran
bermakna bagi siswa. Dengan kata lain, untuk menyiapkan dan menata struktur
kognitif siswa sebelum memulai proses belajar. Misalnya, disampaikan pengantar
ringkas tentang materi yang akan dipelajari, konsep-konsep dasar materi yang
akan dipelajari, serta hubungannya dengan materi-materi sebelumnya.
c.
Skema
Menurut
Asri Budiningsih (2005: 44-45), skema atau skemata berfungsi untuk
mengintegrasikan atau menyatukan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah
sebagai sebuah pengetahuan baru. Masih menurut Asri Budiningsih, skemata juga
memiliki fungus ganda, diantaranya:
1)
Menggambarkan
atau merepresentasikan organisasi pengetahuan individu, dan
2) Sebagai kerangka atau tempat mengaitkan atau mencantolkan
pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yang dimiliki siswa.
Dengan kata lain, skemata merupakan penentu utama terhadap apa dan
bagaimana proses pembelajaran akan diberikan pada siswa selanjutnya. Hal ini
disebabkan menurut Anderson dan Tennyson dalam Asri Budiningsih (2005: 45),
bagaimanapun tujuan siswa belajar untuk memperoleh pengetahuan yang selanjutnya
akan digunakan oleh siswa tersebut dalam kehidupan kesehariannya dan sekaligus
berfungsi sebagai dasar bagi terbentuknya pengetahuan lain. Bentuk aplikasi
teori belajar Ausubel dalam proses pembelajaran adalah dilakukannya
langkah-langkah berikut:
1)
Guru menentukan
tujuan pembelajaran yang akan dilakukan,
2)
Guru melakukan
identifikasi terhadap karakter siswa dalam belajar untuk menyesuaikan dengan
metode pembelajaran,
3)
Guru memilih
dan menyesuaikan materi dengan karakteristik siswa dalam hal metode penyampaian
materi bukan tujuannya yang disesuaikan,
4)
Guru menentukan
dan memberikan garis besar materi yang akan disampaikan dalam bentuk
penyampaian advance organizer.
5)
Guru
menyampaikan materi dalam bentuk senyata dan sekonkret mungkin serta melakukan
penilaian terhadap proses dan hasil belajar belajar siswa. (Irham P, 2013, hal. 178-180)
4.
Brunner
Menurut
Brunner dalam Sugiharono dkk. (2007:111), belajar merupakan proses yang
bersifat aktif. Maksudnya, cara terbaik bagi seseorang untuk memulai belajar
konsep dan prinsip-prinsip tertentu adalah dengan mengkontruksi sendiri konsep
dan prinsip yang dipelajari, yaitu dengan cara siswa berinteraksi secara
langsung dengan lingkungannya untuk melakukan eksplorasi, manipukasi, membuat
pertanyaan, dan melakukan eksperimen terhadap obyek yang dipelajari. (Irham P, 2013, hal. 173)
Pendapat
yang terkenal dikemukakan oleh J.S. Brunner adalah bahwa setiap mata pelajaran
dapat diajarkan dengan efektif dalam bentuk yang jujur secara intelektual
kepada setiap anak di setiap tingkat perkembangannya. (Nini
Subini, 2012, hal. 159)
Menurut
Brunner, dalam proses belajar peserta didik menempuh tiga tahap,yaitu:
1) Tahap informasi ( tahap penerima
materi)
Pada tahap ini, peserta didik yang sedang belajar memperoleh
sejumlah keterangan mengenai materi yang sedang dipelajari baik dari gurunya
maupun membaca dari sumber atau media yang ada.
2) Tahap transformasi ( tahap
pengubahan materi)
Pada tahap ini, informasi yang telah diperoleh itu dianalisis,
diubah, atau ditransformasikan menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual.
3) Tahap evaluasi
Dalam tahap ini, peserta didik
menilai sendiri sampai sejauh mana informasi yang telah ditransformasikan dapat
dimanfaatkan untuk memahami gejala atau masalah yang dihadapi. (Nini
Subini, 2012, hal. 159)
Teori Brunner menggunakan metode
penemuan (discovery learning). Discovery learning adalah model
pengajaran yang dikembangkan berdasarkan pada pandangan kognitif tentang
pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivitas. Brunner lebih menekankan pada
proses belajar daripada hasil belajar. (Nini Subini, 2012, hal. 160)
Penerapan teori belajar Brunner
dalam pembelajaran dapat dilakukan dengan:
a) Menyajikan contoh yang riil dan
bukan contoh dari konsep yang diajarkan guru.
b) Membantu peserta didik untuk melihat
adanya hubungan antara konsep-konsep
c) Memberikan satu pertanyaan dan
membiarkan peserta didik mencari jawabannya sendiri.
d) Mengajak
dan memberi semangat peserta didik untuk mengeluarkan pendapat berdasarkan
instuisinya.
SUMBER
Irham P, d. (2013). Psikologi Pendidikan:
Teori dan Aplikasi Dalam Proses Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-ruzzmedia.
Nini Subini, d. (2012). Psikologi Pembelajaran. Yogyakarta:
Mentari Pustaka.
Rumini, S. (2000). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Unit
Percetakan dan Penerbitan (UPP) Universitas Negeri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar